Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandangan MUI Terkait Perayaan Tahun Baru Masehi Oleh Umat Muslim

merayakan tahun baru islam
Dalil merayakan tahun baru islam/Gambar: Pixabay


Pandangan MUI Terkait Perayaan Tahun Baru Masehi Oleh Umat Muslim - Momentum pergantian tahun, atau Tahun Baru, adalah saat ketika masyarakat merayakan perubahan dari tahun sebelumnya ke tahun yang akan datang. Perayaan ini sering kali diartikan sebagai kesempatan untuk menyambut awal yang baru, menghargai kenangan indah dari tahun sebelumnya, dan menantikan peluang serta harapan baru di masa mendatang.

Perayaan Tahun Baru di berbagai belahan dunia umumnya diwarnai dengan beragam aktivitas dan tradisi, termasuk berlibur ke tempat-tempat hiburan, merayakan pesta bersama keluarga dan teman, serta menonton acara-acara khusus.

Namun, bagaimana pandangan agama Islam terhadap tradisi merayakan Tahun Baru? Dalam konteks ini, merayakan Tahun Baru dianggap haram dalam Islam karena dianggap sebagai tradisi non-Islam yang berasal dari budaya Barat. Untuk lebih lanjutnya, simaklah artikel berikut ini.

Riwayat Tahun Baru Masehi


Perayaan tahun baru pertama kali dimulai pada tahun 46 SM selama masa pemerintahan Kaisar Romawi, yaitu Julius Caesar. Pada saat itu, Kaisar Caesar mengubah kalender Romawi yang sebelumnya terdiri dari 10 bulan (304 hari), yang diperkenalkan oleh Romulus pada abad ke-8, menjadi kalender satu tahun yang terdiri dari 365 hari.

Kaisar Caesar bekerja sama dengan Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, Mesir, dalam melakukan perubahan tersebut. Bulan Januari dinamakan sesuai dengan dewa dalam mitologi Romawi, yakni Dewa Janus, yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan ke belakang.

Masyarakat Romawi meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa awal dan penjaga pintu masuk. Pada tahun 45 SM, Julius Caesar menambahkan 67 hari sehingga tahun 46 SM dimulai pada tanggal 1 Januari. Untuk menghormati Dewa Janus, masyarakat Romawi mengadakan perayaan pada tengah malam tanggal 31 Desember untuk menyambut 1 Januari.

Namun, dalam konteks agama Islam, perayaan tersebut dianggap sebagai kebiasaan orang kafir yang menyembah hal-hal yang tidak memiliki landasan dalam ajaran Islam.

Pandangan Hukum Terkait Perayaan Tahun Baru Masehi


Merayakan Tahun Baru Masehi masih sering menjadi pertanyaan bagi sebagian besar umat Islam, mengingat kalender Masehi bukan milik umat Islam. Pertanyaan muncul, bagaimana hukum merayakannya?

Secara umum, para ulama umumnya menyarankan untuk tidak merayakan Tahun Baru Masehi. Salah satu pandangan ini disampaikan oleh Buya Yahya, yang menyatakan bahwa kegiatan dalam perayaan tersebut dapat membawa kepada perilaku yang tidak sesuai, seperti berfoya-foya.

Selain itu, Buya Yahya menegaskan bahwa mengikuti budaya kafir tidak dianjurkan, karena hal ini disebutkan sebagai tanda kelemahan dalam keimanan seorang Muslim.

Pendapat ini juga ditegaskan dalam berbagai kitab, seperti Al Mi'yar al Ma'riby, Ar Raudhah, Faydhul Qodir, Hasyiyah al Jamal ala al Minhaaj, dan Ihyaa 'Ulumuuddin. Merayakan Tahun Baru dianggap haram karena dianggap sebagai tasyabbuh atau menyerupai orang kafir, yang dianggap tidak memberikan manfaat apapun.

Dalil Al-Qur'an yang melarang seorang Muslim menyerupai orang kafir dijelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 120.

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ

Latin:
Wa lan tarḍā 'angkal-yahụdu wa lan-naṣārā ḥattā tattabi'a millatahum, qul inna hudallāhi huwal-hudā, wa la`inittaba'ta ahwā`ahum ba'dallażī jā`aka minal-'ilmi mā laka minallāhi miw waliyyiw wa lā naṣīr

Artinya:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadits yang dishahihkan oleh Al Albani,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR Abu Daud)

Pandangan ini berbeda dengan pendapat M. Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menjelaskan bahwa tidak ada larangan untuk merayakan Tahun Baru atau mengucapkan selamat Tahun Baru.

Cholil menyatakan bahwa karena masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman agama, budaya, dan tradisi, yang tidak diperbolehkan adalah merayakannya secara berlebihan yang dapat mengganggu ketenangan banyak orang.

Meskipun demikian, Cholil menyarankan agar umat Muslim lebih baik merayakan Tahun Baru dengan melakukan evaluasi diri, muhasabah, berdzikir, sholawat, dan berdoa kepada Allah SWT.

Posting Komentar untuk "Pandangan MUI Terkait Perayaan Tahun Baru Masehi Oleh Umat Muslim"